“Desa
Wisata
Dalan –
bolong – jero
Aspale
dibadok Tikus Berdasi”
Terlihat sebuah baliho bekas
terpasang diantara pohon mahoni di jalan antara Sumber rahayu – Pakis, Kendal.
Bukan tanpa alasan, memang dibawah baliho tersebut kondisi jalan yang menanjak
serta menikung tajam itu memang rusak parah. Padahal jalanan tersebut merupakan
penghubung antara Kab. Semarang dan kab. Kendal. Entah jalan tersebut masuk ke
jalan Desa, Kecamatan, Propinsi atau Nasional, tapi yang terpenting jalan
tersebut sering dilalui sebagai jalan alternatif dari kota Semarang menuju ke desa-desa terluar dari kab. Kendal ataupun
ke Bandungan *eh Kab. Semarang
maksudnya, heuheu
Salah satu bentuk penyampaian
aspirasi ini merupakan paling berani dari yang pernah saya temui. Sebelumnya bentuk
protes dari warga untuk masalah serupa contohnya seperti menanam pohon pisang
di tengah jalan atau melepaskan benih ikan di tengah jalan yang berlubang (yang
biasanya diliput oleh media). Ya mungkin fenomena ini sangat tidak menarik bagi
media, atau bahkan media menganggap aksi ini sama dengan demonstrasi yang ada
di jalanan yang kurang menarik bagi mereka (karena ehmmm ya gitu lah). Tetapi
bgai saya ini merupakan suatu keberanian dari masyarakat sekitar. “ Lho kok
bisa?”. Huft.... sini duduk tak critani.
Isi baliho yang jika di terjemahkan
begini isinya “ Desa Wisata , Jalan Berlubang Dalam, Aspalnya dimakan Tikus
Berdasi”. Tuh kan nyekit?? Heuheu. Bagaimana tidak? Ketika kita tinggal di
lingkungan kampung, apalagi kampung yang masih sangat memegang teguh adat
istiadat dan kebersamaan antar warga kampung pasti masih ada rasa ewuh pekewuh
untuk menyampaikan aspirasi. “lho ... lha ubungane???”.
Hmmm, begini lho. Untuk mengkritik
perangkat desa atau birokrat setempat pasti merupakan suatu hal yang berat
dilakukan oleh masyarakat. Bagaimana tidak? Lha wong Perangkat desa yang
dikritik itu bisa jadi tetangganya
sendiri kok, atau mungkin malah kerabat sendiri *eh. Pasti akan ada rasa ewuh
untuk menyatakan pendapat, soalnya takut dianggap vis a vis / frontal / ra
nduwe adat / ra nyedulur / separatis / makar (walah lebay, kadohan cukk).
Sederhananya nanti si “kritikus” dianggap saru. Hah saru??? Ya iya lah. “Mosok tonggone
dewe / sedulure dw mok arani tikus berdasi? Emange kerabatmu, simbah-simbahmu
iku tikus???” heuheu
Intinya penyampaian aspirasi macam
ini merupakan jalan akhir dari warga, mengingat banyaknya forum warga dimana si
“aspirator” bisa menyampaikan pendapatnya. Tetapi jika sudah begini berarti kan sudah tidak ada
jalan keluar dari masalah ini sehingga warga nekat memasang baliho saru macam
ini (tetapi sebenarnya tak ada yang salah dalam menyampaikan pendapat sih
karena ini masih dalam batas wajar). Bukan apa-apa, tetapi biasanya jika
ketahuan siapa yang memasang baliho berisi kritik ini bisa-bisa ia menerima
sanksi sosial dari orang yang “ngerasa” di kritik. Entah nanti tak disapa
ketika mau berangkat ngarit (merumput), atau gak diundang ketika ada
gendurenan. Huheu, parah kan?
Tapi hal ini patut menjadi perhatian
kita bersama, bahwa tak hanya terjadi di tingkat nasional sanya, ternyata di
tingkat terendah saja sudah ada penyakit akut. Ya, apalagi kalau bukan korupsi?
Apa yang harus dilakukan lagi jika kampanye anti korupsi sudah digencarkan,
pendidikan anti korupsi sudah diterapkan, undang-undang anti korupsi pun sudah
disahkan. Tapi ya masih begini-begini saja. Semakin eneg saja sama negeri ini
(ini hanya akting, karena penulis tidak punya kata-kata lain untuk
mengekspresikan perasaan. Penulis juja tak punya niatan untuk pindah di negara
lain karena uang saja juga tak punya). Huft, entahlah....
semakin lucu saja negri ini.
Komentar
Posting Komentar