Dalam rangka meningkatkan
pemasukan (uang saku bulanan) maka saya menulis tulisan ini yang saya tujukan
ke khalayak ramai dan ibu saya, sehingga ketika beliau membaca beliau akan
langsung terharu (atau bahkan bingung) dan langsung menelpon saya sambil
berkata “nduk, sangune wes tak transfer, sesok ojo lali dicek soale mau karo
tak tambahi sitik”, heuheu. Tdak lah..... saya tak segila itu. Kita mulai
serius di paragraf kedua saja ya bat....
Sebenarnya kajian mengenai Gender
di PMII sidah tak asing lagi, walaupun mungkin hanya disampaikan di MAPABA dan
lupa untuk di follow-upi, tetapi paling tidak para kader pergerakan
sudah pada mudeng lah sedikit-sedikit mengenai Gender.
Bicara mengenai Gender, pasti tak
lepas dari Gerakan Perempuan. Mengapa? Karena mayoritas perempuan sendiri lah
yang memperjuangkan kesetaraan atas dirinya agar setara dengan kaum laki-laki.
Gerakan Perempuan memang sangat Revolusioner dari pra-kemerdekaan hingga saat
ini (bayangkan saja jika dahulu ibu Kartini tidak memperjuangkan kesetaraan
bagi perempuan agar bisa bersekolah layaknya laki-laki, mungkin saat ini saya
tidak bisa membuat tulisan ini, heuheu). Tetapi jauh dari tokoh revolusioner
yang memperjuangkan kesetataan bagi perempuan, ternyata ada satu tokoh yang
sangat dekat dengan saya. Yap, mamak saya (panggilan untuk Ibu saya).
Makak yang hanya tamatan SD dan
dibesarkan di keluarga yang memegang teguh budaya jawa sekaligus patriarkis
sejati maka bisa saya pastikan mamak akan bingung jika saya ajak untuk
berdiskusi gender. Namun yang
mengherankan, beliau ternyata sudah menjadi contoh nyata di kehidupan
saya mengenai perjuangan memperoleh kesetaraan gender. Yap, keluarga saya yang
dahulu sangat kolot dan anti menyekolahkan anak perempuan (yang lebih parah
lagi, udah gak boleh sekolah disuruh nikah pula... duh dek) mampu diubah
sedikit demi sedikit oleh mamak saya. Beliau memang tidak mengejarkan tentang
kesetaraan dengan pitutur, tetapi beliau langsung mencontohkan dengan
tindakan.
Walau pada awalnya mamak saya
disebut kewanen (terlalu berani)
karena menentang putusan dan tradisi keluarga, namun pada akhirnya
beliau dapat menunjukkan arti kesetaraan secara gamblang. Yap, beliau sukses
menunjukkan kepada orang bahwa yang bisa berdaulat dan tampil di ruang publik
bukan hanya laki-laki. Tak hanya itu, beliau juga sempat menjadi tulang
punggung keluarga ketika pendapatan ayah saya sedang lesu. Hebat bukan?. Ya itu
hanya segelintir contoh dari perjuangan mamak saya untuk meruntuhkan budaya
patriarkis di keluarga saya (walau saya yakin alasan awalnya tak seidealis
itu).
Berkat pegalaman pahit mamak
saya, beliau lalu memberikan saya kebebasan seluas-luasnya untuk berproses
diluar dengan memberikan kepercayaan penuh kepada saya untuk mengolah jiwa dan
raga saya sendiri semenjak saya duduk di bangku SD (bagaimana tidak? Saya sudah
ditinggal kerja diluar kota orang tua semenjak TK). Karena mereka jarang pulang
maka saya dipasrahkan kepada simbah saya, namun apa boleh dikata karena simbah
saya sibuk ngarit dan tandur
pari maka apapun mengenai diri saya tak diperhatikan secara mendetail.
Alhasil dari kecil saya sudah terbiasa untuk bertahan hidup dalam keadaan
apapun.
Detik ini saat saya sudah duduk di bangku perguruan tinggi
dan punya kesempatan untuk belajar mengenai gender maka berikut ini adalah
kesimpulan saya untuk mamak saya, baru terbersit di benak saya bahwa mamak
adalah pahlawan kesetaraan gender bagi saya sendiri yang sangat nyata di depan
mata saya. Mamak pasti akan tetap keukeuh dengan arti leterlek dari ayat “arrijaalu
qawwamuna alan nisaa’ “, tetapi dalam praktik mamak sudah membuktikan bahwa
artian dari ayat tersebut selama ini salah. Mamak sudah memaknai ayat tersebut
dalam versinya sendiri yang telah diterjemahkan dalam perlakuannya kepada kedua
putrinya (saya dan adik saya). Berkat perjuangan beliau sekarang saya bisa
belajar mengenai apa arti kesetaraan sebetulnya. Walaupun beliau tak menyadari
bahwa mungkin beliau pantas masuk sebagai salah satu tokoh feminis, hehehe. Ya
setidaknya beliau adalah tokoh bagi hidup saya.
“ojo nganti kalah karo wong
lanang, ojo dumeh dewe iki wedok terus kudu ngalah terus karo wong lanang”,
kata beliau. Berani sekali bukan? Hahaha, ya itulah mamakku. Tokoh pejuang
kesetaraan gender sejati bagi hidup saya. Berjuang puluhan tahun demi
menyekolahkan anaknya yang satu ini sehingga dapat menterjemahkan gerakan
beliau (kesimpulan sederhana saya), heuheu. But anyway, thanks mom for all of
this. U’re the real hero for me. (ZA)
Komentar
Posting Komentar