“bisakah sebuah media benar-benar menelanjangi sebuah kasus? Bukan hanya menayangkan yang terlihat saja
tetapi mengupas tuntas sebuah peristiwa seperti slogan-slogan yang selalu
mereka kumandangkan. Tapi sayangnya isi media meainstream macam televisi sudah
kebanyakan drama, bukan hanya drama sinetron, kasus pun dibuat mainan layaknya
drama“
Malam minggu
kali ini terasa sangat berbeda dari biasanya. Bukan karena saya diapeli pacar,
tetapi karena saya bisa duduk mesra dengan nenek saya sambil melihat satu
saluran TV dengan damai tanpa ada tragedi saling merebut remot. Yang lebih
mencengangkan, saya dan nenek saya bisa satu frekuensi (nyambung) berdiskusi
mengenai apa yang sedang kami lihat bersama.
Saya tak ingat
betul apa judul liputan khusus tersebut, tetapi isinya menayangkan mengenai
prahara pendirian pabrik semen di kab. Rembang yang sampai saat ini masih
bergulir. Aneh sekali sebuah media besar yang notabene juga dimiliki oleh
pengusaha besar mau mengangkat isu ini. Tetapi di sisi lain juga liputan ini
tak juga memberikan titik terang mengenai isu yang diangkat ini. Saya hanya
membatin dalam hati kok berani sekali televisi ini mengangkat isu ini, apa
nanti gak takut ya kalau perusahaan terkait mencabut iklan yang sudah dipasang
di media tersebut. Lha gimana lagi? Karena kan mereka mikirnya yang
penting bikin liputan yang heboh biar ratingnya naik dengan mengambil resiko
terendah tentunya, heuheu.
Dalam tayangan
tersebut, gurat ketakutan akan lehilangan masa depan anak dan cucu dari bu
sukinah, pak gunretno dan pak print terlihat sama ketika saya melihat
wajah-wajah mereka secara langsung atau dari layar televisi. Yang mereka
sampaikan di televisi pun sama plek dengan apa yang disampaikan ketika
aksi. Tetapi yang ditayangkan di liputan tersebut tak begitu mewakili
kegelisahan mereka. Tak juga cukup menceritakan perjuangan mereka selama
bertahun-tahun.
Media memang
harus independen, tetapi tendensi mereka harus condong kepada yang lebih membutuhkan
agar haknya tercukupi. Dalam hal ini tentusaja media tersebut harus condong
kepada kemaslahatan warga di sekitar pegunungan kendeng sendiri. Namun
sayangnya, liputan yang saya lihat tak menjelaskan secara gamblang mengenai
dampak ekologis, kebudayaan serta ekonomi masyarakat sekitar. Penonton dipaksa
menerka-nerka sendiri ke pihak mana penonton harus ikut. Ke pihak pro atau ke
kontra semen kah???. Walaupun di tayangannya lebih ditekankan kepada perjuangan
masyarakat kendeng, namun harusnya ada pihak netral profesional yang ikut
memberikan pandangan mengenai hal ini. Sehingga maksud dan tujuan dari
penayangan liputan ini bisa disampaikan
kepada masyarakat. Jangan sampai kemunculan tayangan hanya berhenti menjadi
pemantik saja.
Hal ini sungguh
tak patut dilakukan oleh sebuah media yang harusnya juga juga enlighten the
society, agar siapapun yang menonton bisa tercerahkan serta ikut serta
mengawal isu ini. Media haruslah berani membuka fakta apapun resikonya. Tapi
sayang, penayangan liputan kali ini hanya sebatas di permukaan saja. Harusnya
bedah kasus seperti ini layak diikuti dari awal hingga akhir, ber seri-seri,
mendalam, menyajikan fakta. Bukan hanya sekali tanpa di-follow up-i. Masa kasus
sidang ibu tiri yang membunuh anak angkatnya saja bisa dibuat liputan
berseri-seri, hingga sidangnya selalu diikuti dan menjadi headline news di
setiap tayangan berita. Lha kasus sebesar ini yang bisa membunuh mata
pencaharian, menghancurkan alam, serta melenyapkan budaya warga di pegunungan
Kendeng hingga turun temurun seperti ini
gak diseriusin sih?. Lha nek semua media kok harus mengikuti yang ngehits mbok
sudah semua tayangan berita itu diisi berita artis semua biar rame. Ya to?? Dan
di akhir sesi saya memutuskan untuk walk out dari depan TV karena sudah
tau apa ending dari tayangan ini. Ya begitu itu tadi
Komentar
Posting Komentar