FENOMENA
KEKERASAN DALAM DAKWAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dakwah merupakan hal terpenting dalam ajaran agama, karena dengan
berdakwah ajaran agama dapat dilestarikan dan tidak akan hilang. Karena
pentingnya dakwah bagi keberlangsungan ajaran agama maka hal ini menjadi
perhatian penting untuk bisa mengetahui tata cara dakwah yang efektif sehingga
dakwah bisa diterima di seluruh aspek masyarakat.[1]
Dakwah yang efektif yaitu dakwah yang berhasil dari segi
pendakwahnya, materi dakwahnya dan para pendengar dakwah itu sendiri.ketiga
komponen tersebut dapat disampaikan secara jelas dan tepat serta tidak
mengandung kesalah fahaman antara penda’i, mad’u dan isi dakwah itu sendiri.
Sebenarnya,
sudah sangat jelas bahwa Islam merupakan agama yang agung dengan nilai-nilai
luhur di dalamnya. Islam dengan sangat tegas senantiasa mengajarkan kedamaian,
kelembutan, kasih sayang, kekeluargaan, persahabatan, dan kebersamaan. Hampir
di setiap sudut ajaran Islam senantiasa mengajarkan dan mengisyaratkan perlunya
suasana, cara, dan hubungan yang mengedepankan keharmonisan dan rasa
kekeluargaan tanpa adanya paksaan, kekerasan, apalagi anarkistis. Terlebih,
lebih dalam urusan berdakwah dan menyampaikan kebenaran Islam.[2]
Karena itu para pelaku dakwah dalam hal ini tidak diperintahkan
menyeru Islam begitu saja, ada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Jelas
dakwah Islam tidak bersifat melontarkan isu-isu yang bersifat fanatis, memaksa,
provokatif, celaan-celaan yang menimbulkan permusuhan, dan bukan pula aktivitas-aktivitas
yang bersifat deskruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang dipaksakan
sebagai pelanggaran berat, maka itu dakwah islam mengkhususkan penggunaannya
secara persuasif.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah
ini adalah :
1)
Bagaimana
pengertian fenomena kekerasan dalam dakwah ?
2)
Bagaimana
tanggapan dan solusi mengenai kekerasan dalam dakwah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fenomena kekerasan dakwah di masyarakat
Islam yang
menjunjung tinggi kedamaian dan keharmonisan, tidak berarti selamanya harus
tinggal diam, mengalah, apatis, dan tidak peduli dengan kondisi tertentu yang memerlukan
tindakan nyata untuk menjaga keutuhan dan kemuliaan Islam. Ketegasan menjadi
kebutuhan. Dalam hal ini, penguasaan metodologi dakwah menjadi keniscayaan bagi
setiap da’i.
Hampir setiap hari kita disuguhi dengan berita-berita penyerangan satu kelompok
terhadap kelompok lain. Bahkan saking seringya lama-lama masyarakat menjadi
imun dengan berita dengan berita seperti ini akibatnya tindak kekerasan
berbasis agama lama-kelamaan di anggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja,
sehinga tidak perlu dikutuk dan disingapi secara berlebihan. Gejala demikian
mulai muncul dalam masyarakat. Jika hal ini di biarkan, maka ritus kekerasan
berbasis agama akan menjadi sesuatu yang sangat menghawatirkan. Semangkin hari, agama dan kekerasan menjadi dua aspek yang makin identik
dan seolah tak bisa dilupakan. Terlebih beberapa hari terakhir ini, masyarakat
disuguhkan pemandangan letup-letup kekerasan berlatar belakang agama di
bernagai tempat nyaris bersamaan seolah tidak ada lagi untuk menelisik dan
mengamati fenomena apa yang sesungahnya terjadi, sebagian besar masyarakat kita
hanya bisa terhenyak dan terpana oleh rentetan kekersan tersebut.
Kekerasan bernuasa
agama juga dilihat sebagai akibat sikap masyarakat yang permisif terhadap
kekerasan. Sikap sebagian masyarakat termasuk pemuka agama terhadap kekerasan
telah mengakibatkan banalitas kekerasan. Alih-alih mengencam kekerasan,
sebagian pemuka agama (Da’i) baik secara langsung maupun tidak menjadi corong
bagi siar kebencian terhadap mereka yang dianggap sesaat/berbeda.[3]
B.
Peran Da’i dan Masyarakat Terkait Kekerasan Dakwah
Tanggapan dunia barat dan media massanya terhadap Islam sejak awal
tahun 1970-an bersifat problematik dan antipati. Awal pemicu bangkitnya
antipati dan kecurigaan itu adalah embargo minyak tahun 1973 oleh Negara Arab
Teluk dan OPEC, dengan dampak kenaikan harga minyak dan inflasi di masyarakat
Barat. Citra Islam di Barat bertambah mengenaskan setelah terjadinya aksi
peledakan World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington DC.
Tudingan Islam sebagai agama teroris mendapat legitimasi kuat. Melalui media
internasionalnya, Amerika Serikat menuding Osamah bin Laden sebagai otak di
balik tragedi 11 September kelabu itu.
Majalah terkemuka, Time
sudah biasa mencitrakan Islam sebagai agama ideologi yang terkesan
“menyeramkan” sekedar untuk memojokkan Islam. Pencitraan Islam oleh media massa
Barat bahwa Islam adalah agama yang mengancam, menakutkan, terror, ekstrim, dan
citra negatif lainnya.
Di Indonesia sendiri aksi terorisme terbesar ditandai dengan adanya
bom di jalan Legian, Kuta, Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 silam. Kawasan
yang berjejer kafe dan bar itu dalam seketika porakporanda akibat ledakan bom
berkekuatan dahsyat yang menewaskan lebih dari 180 jiwa dan meluluhlantakkan
puluhan bangunan dan kendaraan. Belum berakhir sampai disitu, aksi terorisme di
Indonesia kembali dating mengancam setelah terjadinya ledakan bom di hotel JW
Marriott. Dari peristiwa peledakan ini dapat dipastikan serangan sengaja
dilakukan di tempat-tempat umum dengan target yang jelas. Inilah sesungguhnya
tipikal aksi terorisme di berbagai belahan dunia.
Tumbuhnya paham radikalisme ini di samping karena intrepretasi yang
parsial terhadap teks-teks Islam, juga disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu
yang emosional dan mendorong mereka untuk berperilaku radikal. Mereka
menggunakan jargon-jargon teologis untuk memperkokoh keyakinan dan eksistensi
mereka. Interpretasi-interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan
konteks kepentingan seringkali mereka gunakan, dengan mengesampingkan
penafsiran-penafsiran yang tidak mendukung pendapat mereka.
Ayat-ayat mengenai perintah perang seperti ayat yang artinya; “Dan perangilah orang-orang musyrik” ; “Wahai
Nabi! Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan
bersikaplah keras dan tegas kepada mereka” seringkali dipedomani kuat-kuat tanpa melihat
latar belakang sosio-historis (asbab
an-nuzul) dan konteks yang menyebabkan auat-ayat tersebut turun. Pada sisi
lain mereka juga tidak memperhatikan ayat-ayat lain yang memberi pengertian
kebalikannya, seperti surah al-kafirun yang mengandung pengertian toleransi
beragama, ayat tentang pentingnya dan di anjurkannya berbuat adil dan baik
terhadap non-muslim yang baik terhadap umat islam.[4] Dari dua pandangan ini
dapat disimpulkan bahwa tidak harus serta merta peperangan dan anarkisme
menjadi satu-satunya alternative untuk mensikapi orang-orang non-muslim.
Di sisi lain, terdapat beberapa kondisi psikologis tertentu yang
menyebabkan seseorang itu berpaham dan bertindak radikal dalam mewujudkan misi
agama yang di yakininya.[5] Abu Abdurrahman
Al-Thalibi, tokoh islam Salafi, dalam rangka meluruskan beberapa kekeliruan
para da’I salafi, menyebutkan beberapa latar belakang sikap keras yang terkesan
dari para da’i, diantaranya:
a.
Kekerasan yang ditimbulkan oleh seorang da’i
karena kurangnya keikhlasan dalam berdakwah
b.
Kekerasan dari para pemuda-pemuda yang trelalu
bersemangat dan tidak sabar untuk mencapai tujuan dakwahnya
c.
Kekerasan dakwah dari orang-orang yang tersisih
dari pergaulan, tidak memiliki kebanggaan, dan tidak memiliki pengakuan dari
masyarakatnya
d.
Kekerasan dari orang-orang yang pemikirannya
sudah rancu
e.
Kekerasan dari orang-orang yang memiliki
kepentingan sempit dibalik dakwahnya
f.
Kekerasan yang muncul sebagai bentuk respon
atau reaksi orang-orang atas tekanan-tekanan politik, ekonomi, maupun
ketidak-adilan yang menimpa mereka.
Dari faktor-faktor inilah yang menyebabkan
radikalisme maupun anarkisme mudah berkembang di antara masyarakat tertindas
dan teraniaya sebagaimana yang dapat disaksikan di Irak maupun Palestina.
Dakwah menggunakan kekerasan jarang terjadi keberhasilannya karena
pola pikir yang sudah terbangun di masyarakat bahwa dakwah itu bersikap lembah
lembut dan penuh toleransi.
Agar kasus-kasus
kekerasan atas nama agama dalam dakwah yang selama ini terjadi tidak menjadi
pemicu munculnya kondisi harmonis di antara anggota masyarakat, sekaligus
mencegah da’i dan di mata masyarakat (mad’u), maka perlu ditetapkan beberapa
altenatif penyelesaian.
1.
Meningkatkan deteksi
dini terhadap berbagai pristiwa yang potensial menjadi pemicu aksi kekerasan
dengan mengatasnamakan agama atau kelompok.
2.
Menghimbau kepada
intansi/lembaga terkait (pemerintah atau non pemerintah) untuk berupaya
mencegah mengeluarkan kebijakan yang dapat memicu terjadinya aksi kekerasan
masa dengan mengatasnamakan agama atau kelompok.
3.
Melakukan sosialisasi
tentang upaya mewujudkan keharmonisan antar warga masyarakat bersama dengan
tokoh agama dan toko masyarakat, sehinga dapat dihasilkan kesamaan pandang
tentang makna keharmonisan.
4.
Melakukan berbagai aksi
sosial dan keagamaan yang ditunjukan untuk membangun dan menumbuhkembangkan
rasa solidaritas dan harmonis antar umat beragama(masyarakat).
5.
Meminta dukungan dari
berbagai kalangan,legeslatif,eksekutif,dan yudikatif,tidak terkecuali tokoh
agama dan tokoh masyarakat, tehadap setiap tindakan tegas yang akanj dilakukan
guna mencegah kekerasan mengatasnamakan agama dan kelompok, sehingga setiap
tindak diangap sebagai pelangaran.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Segala bentuk kekerasan atas nama agama merupakan
suatu hal yang tidak bisa diterima oleh pihak manapun. Karena jika kita melihat
pada bentuk dan substansi agama, maka tidak ada satupun agama di dunia ini yang
mengajarkan manusia untuk berbuat anarkis dan kekerasan terhadap manusia
lainnya. Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut dilakukan atas nama
suatu agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di dunia ini mengajarkan
kasih sayang, toleransi, cinta damai, saling mengasihi antar sesama manusia lainnya.
Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan kekerasan dilarang oleh semua
agama apa lagi islam.
Secara singkat, penyebab yang paling utama hingga
menyebabkan orang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama ialah karena
orang tersebut memiliki pandangan yang sangat sempit mengenai agama tersebut
atau dengan kata lain dia hanya melihat agama itu sebatas bentuknya saja tanpa
memahami substansi yang sesungguhnya, sehingga kekerasan yang dia lakukan
dipandang sebagai tindakan yang benar dalam agamanya menurut pandangannya.
Etika islam dapat mempengaruhi seseorang dalam
berdakwah, yakni dengan tutur kata dan perilaku yang santun maka seorang mad’u
akan lebih memandang bijak kepada da’i yang beretika tersebut. Inilah titik
puncak adanya keberhasilan dalam etika dakwah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
M. Munir, Metode
Dakwah,Kencana, Jakarta, 2003.
Mafri Amir,Etika Komunikasi dalam Pandangan Islam,Logos Wacana
Ilmu, Jakarta,1999.
Munzier Suprata dan Harjani Hafni, Metode Dakwah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta 2009.
Samsul Munir
Amin, Ilmu Dakwah,Amzah, Jakarta ,2009.
Suparman
Syukur, Etika Religius,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Komentar
Posting Komentar